Jumat, 19 Oktober 2012

Yang Kau Pinjam Dari Garuda

Sambil merapatkan syal dan mendekap kertas-kertas di dada, Ryan mempercepat langkah. Cuaca makin dingin, batin Ryan dalam hati. Angin yang dinginnya menggigit menerpa wajah Ryan yang kekuningan, khas kulit orang Asia. Jalanan tampak sepi. Wajar saja, hari sudah senja dan ini sudah masuk musim gugur. Cuaca yang dingin dan berangin tidak akan membuat orang tahan berlama-lama di luar. Tapi bagi Ryan, cuaca ini sudah menjadi sesuatu yang akrab, bahkan mulai disenanginya.
Mata Ryan menjelajahi jalan kecil yang dilaluinya. Lalu seperti kebiasaannya saat kebetulan pulang pada saat senja, ia mampir ke kedai kopi kecil yang ada di ujung jalan kecil itu. Kedai kopi yang sepi dan kecil. Ryan berbelok dan membuka pintu kedai kopi, suara lonceng kecil yang berdentang menyambutnya. Dan ia segera duduk di meja yang biasa ia duduki. Meja yang dekat dengan jendela yang menghadap keluar. Agak terpojok memang, tapi jauh lebih tenang daripada tempat yang lain.
Ryan mengangkat tangan kanannya sambil tersenyum, memanggil seorang pelayan yang tak jauh darinya. Pelayan tersebut langsung mendekatinya.
“One pancake and coffee, please, (Satu porsi pancake dan kopi, tolong)” ucap Ryan sambil tersenyum. Pelayan tersebut balas tersenyum lalu mengangguk dan mencatat pesanan Ryan. Lalu pelayan itu pergi, menyiapkan pesanan. Hari itu sepi menggantung di dalam kedai kopi. Yang terdengar hanya suara kopi yang sedang diseduh, atau desis pancake dipenggorengan. Yang lainnya, senyap.
Ryan membuka tas ranselnya, mengaduk dalamnya, dan akhirnya mendapatkan apa yang dicarinya. Sepucuk surat yang sebenarnya sudah ia baca di kelas tadi, namun ia kembali rindu dengan tulisan indah ibunya. Ryan tersenyum, membaca ulang surat tersebut. Ibunya yang masih di Jakarta bercerita tentang adik bungsunya yang sekarang sudah mahir bersepeda, mendapat juara di kelas. Juga cerita tentang bibi-nya yang akan segera menikah. Dan pertanyaan yang sama disetiap penutup surat-suratnya. Sekali lagi Ryan tersenyum, sekaligus merasa ngilu dihatinya.
Ryan menarik selembar kertas kosong dan pena. Ia mulai menulis. Membalas surat yang dikirim ibunya beberapa hari yang lalu. Ryan menulis tentang keadaannya di negeri orang ini, bagaimana kabar kuliah dan pekerjaan paruh waktunya, tentang tugas-tugas, dan kebahagiaannya atas kemajuan adiknya dan pernikahan bibi-nya. Lalu Ryan terdiam, ragu akan apa yang harus ditulisnya selanjutnya. Dan inilah, apa yang selalu ditulisnya sebagai penutup surat-surat yang dikirim untuk ibunya, “Aku belum bisa pulang dalam waktu dekat, Bu.”. Ryan terdiam.
Saat Ryan hendak melipat surat yang baru saja ditulisnya, lonceng kecil tanda pengunjung datang kembali berdentang pelan. Sesaat Ryan tidak peduli, tapi saat orang yang baru masuk itu berjalan melewatinya, sekejap Ryan menoleh. Ryan hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, lelaki yang baru saja masuk itu, memakai batik?
Lelaki itu memakai kacamata, tampak pintar dan tenang. Dan ia, berbatik! Itu yang paling penting. Ryan terus menatapnya, tidak peduli lelaki itu sadar atau tidak. Dan lelaki itu memilih untuk duduk tepat di belakang meja Ryan. Pertama Ryan beusaha tetap tenang, namun segera berbalik kearah lelaki itu untuk menyapanya.
“Are you Indonesian? (Apakah kamu orang Indonesia?)” tanyanya Ryan tanpa basa-basi. Laki-laki itu terdiam sebentar, lalu senyumnya merekah lebar sambil mengangguk berkali-kali.
“Orang Indonesia juga?” ia balik bertanya. Ryan mengangguk sambil tertawa. Keduanya tertawa. Sekejap kedai kopi yang tadinya sepi, mulai riuh dengan tawa mereka.
“Ayo gabunglah bersamaku, aku sendirian,” ajak Ryan sambil menepuk sisi lain mejanya. Lelaki itu tertawa pelan lalu bangkit dari duduknya, bergabung bersama Ryan dimejanya. Baru mereka mau akan berbicara lagi, datang pelayan yang menantarkan pesanan Ryan. Lelaki itu mengisyaratkan bahwa ia ingin secangkir kopi, pelayan tersebut tersenyum lalu berlalu.
“Omong-omong, namaku Ridho,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kanannya, menunggu sambutan tangan Ryan. Dan Ryan cepat-cepat menjabat tangan Ridho.
“Namaku Ryan,” keduanya lalu tertawa, lagi.
“Sudah lama tidak bertemu dengan orang Indonesia lagi. Aku sempat kaget,” ungkap Ridho di sela tawanya. Ryan mengangguk membenarkan.
“Aku juga. Tidak pernah aku bertemu orang Indonesia lain selain teman-teman sekuliahanku,” Ridho menaikkan alisnya, tertarik.
“Kau mahasiswa?” tanyanya sambil melonggarkan syal yang dipakainya.
“Begitulah,” jawab Ryan sambil tersenyum dan menambahkan gula dikopinya. “Kau juga mahasiswa?” Ryan balik bertanya. Ridho tersenyum.
“Ya, tapi jika bersungguh-sungguh, akhir tahun ini aku akan lulus,” jawabnya. Ryan mengangguk mengerti. Sesaat keduanya diam. Yang terdengar hanya suara sendok Ryan yang membentur dinding cangkir kopinya.
“Jadi, kau tidak pulang ke Indonesia? Kudengar bulan ini semua universitas meliburkan semua mahasiswanya,” Ridho kembali memancing pembicaraan. Ryan terdiam akan pertanyaan itu. Semua teman-temannya yang berasal dari Indonesia sudah pulang dari seminggu yang lalu. Tapi Ryan, ia tidak akan mau pulang.
“Kau sudah lupa alamat rumahmu, ya?” itulah guyon yang selalu dilontarkan teman-temannya saat Ryan menolak untuk ikut pulang bersama mereka. Dan Ryan hanya tersenyum sebagai balasan.
“Aku tidak pernah pulang ke Indonesia 2 tahun terakhir ini,” jawab Ryan saat ia sadar dari lamunannya. Seorang pelayan mendekati mereka, mengantarkan pesanan Ridho. Ridho mengucapkan terima kasih lalu pelayan itu berlalu.
“2 tahun? Kerasan sekali rupanya,” canda Ridho. Keduanya tertawa.
“Kenapa tidak pulang? Ini bulan yang baik untuk pulang. Lagipula cuaca akan semakin dingin.” Ridho masih penasaran.
“Aku suka musim gugur,” jawaban singkat dari Ryan. Ridho tertawa kecil sambil mengaduk kopinya. “Kau pun tampaknya tidak pulang.” Ucap Ryan lalu menyeruput kopinya.
“Ya, aku sedang dalam riset yang tidak bisa kutinggalkan. Lagipula awal tahun aku sudah pulang,” jawab Ridho. Ryan mengangguk.
“Dimana kampungmu, Ryan?” tanya Ridho sambil mengangkat cangkir kopinya, menyeruputnya pelan. Kopi yang panas segera menetralkan suhu tubuhnya yang kedinginan.
“Di Jakarta. Kampungmu dimana?” jawab Ryan sekaligus bertanya. Ridho meletakkan cangkirnya kembali sebelum menjawab.
“Di Medan. Kau anak Jakarta rupanya. Tidak rindu dengan Monas?” gurau Ridho.
“Aku lebih suka dengan Big Ben,” Ryan balas bergurau. Keduanya kembali tertawa.
“Jakarta sudah maju sekarang,” ucap Ridho. Ryan tersenyum sinis. Maju ya…, batin Ryan dalam hati. Mau tidak mau, Ryan melempar kembali ingatannya akan masa lalunya di Jakarta. Masa-masa kelam yang tiap kali ia kenang akan membuat ngilu hatinya. Dulu Ryan hidup susah. Ibunya bekerja sebagai tukang cuci baju, dan ayahnya tukang judi. Walau pun tukang judi, ayahnya tidak pernah marah-marah di rumah. Hanya tak bicara.
Dulu Ryan terpaksa ikut kerja kecil-kecilan agar meringankan ibunya untuk membayar uang sekolahnya yang mahal. Walau pun hidup miskin, Ryan tidak malu belajar di sekolah yang sama dengan banyak anak-anak orang kaya. Walaupun sebagian besar anak-anak itu mengejeknya, Ryan tetap tidak peduli.
Ryan ingat saat ayahnya meninggal, waktu itu umurnya baru 13 tahun. Ibunya terpaksa kerja keras. Ditambah lagi saat itu Ryan sudah mempunyai dua orang adik yang masih kecil-kecil. Hidupnya benar-benar susah. Ryan sedih tiap kali mengingat saat ibunya dilecehkan dan diejek karena bekerja sebagai tukang cuci.
Tapi akhirnya Ryan lulus sekolah menjadi anak yang berprestasi. Ia memang tidak pintar. Tapi keuletannya berbuah manis. Ia lulus beasiswa bersekolah di Inggris. Dan sinilah ia sekarang, duduk di kedai kopi yang terletak di seluk beluk kota London, termenung mengorek kembali pedihnya masa lalu.
Ryan memotong pancake-nya dengan garpu lalu berkata, “Aku tidak akan pulang. Ibuku dan adik-adikku akan aku bawa ke London. Aku akan bekerja di sini. Mengganti kewarnegaraanku dan keluargaku.” Ridho terdiam mendengarnya. Ryan dengan santainya mengangkat wajah sambil tersenyum, itu memang rencananya saat sudah lulus kuliah nanti. Ridho tertawa pelan.
“Kau punya masa lalu yang buruk rupanya,” ucap Ridho sambil mengaduk pelan kopinya. Ryan tersentak mendengarnya. “Bagaimana aku tahu? Aku sudah menetap di Inggris selama 4 tahun. Aku bertemu dengan banyak orang dari banyak Negara. Tapi jujur saja, hanya orang-orang Indonesia yang mempunyai rencana yang sama denganmu. Mereka membenci Negara mereka sendiri. Aku pun sebenarnya juga punya masa lalu yang buruk, tapi aku sudah berdamai dengan masa lalu. Aku harus mengembalikan apa yang sudah aku pinjam.” Sambung Ridho.
“Yang kau pinjam?” ulang Ryan bingung.
“Kau pun meminjam hal yang sama,” ucap Ridho sambil tersenyum.
“Aku tidak mengerti,” jawab Ryan. Ridho menyandarkan punggungnya disandaran kursi sambil terus tersenyum.
“Wajar kau tak mengerti,” ucapnya. “Apa yang kita pinjam, adalah sayap Garuda. Kita sudah sampai di sini. Saat ini, memang kita di sini. Tapi suka dan duka kita alami di Indonesia. Kita ada di sini karena dasar yang kita dapat di sana. Ini hanya batu lompatan. Indonesia tetap rumah kita, dan kita harus mengembalikan sayap yang sudah kita pinjam. Kita bangun negeri kita, dan kita bantu anak-anak penerus kita agar bisa meminjam apa yang sudah kita pinjam.” Jelas Ridho. Ryan terdiam. Diam yang panjang.
Tiba-tiba dering telefon berbunyi nyaring. Menyentak Ryan dan seluruh pikirannya. Ridho merogoh kantung celananya, dan terkejut.
“Oh, aku terlambat untuk rapat riset-ku. Aku harus pergi sekarang,” ucapnya lalu segera meneguk habis kopinya yang sudah mendingin. Ia lalu bangkit dari duduknya, Ryan ikut bangkit.
“Kau akan menangis melihat senyum rindu Ibu Pertiwi diwajah ibu-mu,” bisik Ridho. Tiba-tiba hati Ryan meleleh, mengingat senyum ibunya yang begitu teduh dan penuh sayang. Ridho menyodori Ryan selembar kartu nama.
“Hubungi aku kapan saja. Senang bertemu denganmu, Ryan.” Lalu keduanya berjabat tangan. Sosok Ridho lalu berjalan keluar kedai setelah membayar tagihannya. Tinggal Ryan sendiri dengan sepiring pancake dan setengah cangkir kopinya. Ryan merogoh kantung celananya, mengeluarkan telefon genggamnya, menekan nomor telfon maskapai penerbangan.
“Hello, is there any ticket to Indonesia tonight? (Hallo, apakah ada tiket untuk ke Indonesia malam ini?)”
Cerpen Karangan: Nadira Mufti

Yang Kau Pinjam Dari Garuda

Sambil merapatkan syal dan mendekap kertas-kertas di dada, Ryan mempercepat langkah. Cuaca makin dingin, batin Ryan dalam hati. Angin yang dinginnya menggigit menerpa wajah Ryan yang kekuningan, khas kulit orang Asia. Jalanan tampak sepi. Wajar saja, hari sudah senja dan ini sudah masuk musim gugur. Cuaca yang dingin dan berangin tidak akan membuat orang tahan berlama-lama di luar. Tapi bagi Ryan, cuaca ini sudah menjadi sesuatu yang akrab, bahkan mulai disenanginya.
Mata Ryan menjelajahi jalan kecil yang dilaluinya. Lalu seperti kebiasaannya saat kebetulan pulang pada saat senja, ia mampir ke kedai kopi kecil yang ada di ujung jalan kecil itu. Kedai kopi yang sepi dan kecil. Ryan berbelok dan membuka pintu kedai kopi, suara lonceng kecil yang berdentang menyambutnya. Dan ia segera duduk di meja yang biasa ia duduki. Meja yang dekat dengan jendela yang menghadap keluar. Agak terpojok memang, tapi jauh lebih tenang daripada tempat yang lain.
Ryan mengangkat tangan kanannya sambil tersenyum, memanggil seorang pelayan yang tak jauh darinya. Pelayan tersebut langsung mendekatinya.
“One pancake and coffee, please, (Satu porsi pancake dan kopi, tolong)” ucap Ryan sambil tersenyum. Pelayan tersebut balas tersenyum lalu mengangguk dan mencatat pesanan Ryan. Lalu pelayan itu pergi, menyiapkan pesanan. Hari itu sepi menggantung di dalam kedai kopi. Yang terdengar hanya suara kopi yang sedang diseduh, atau desis pancake dipenggorengan. Yang lainnya, senyap.
Ryan membuka tas ranselnya, mengaduk dalamnya, dan akhirnya mendapatkan apa yang dicarinya. Sepucuk surat yang sebenarnya sudah ia baca di kelas tadi, namun ia kembali rindu dengan tulisan indah ibunya. Ryan tersenyum, membaca ulang surat tersebut. Ibunya yang masih di Jakarta bercerita tentang adik bungsunya yang sekarang sudah mahir bersepeda, mendapat juara di kelas. Juga cerita tentang bibi-nya yang akan segera menikah. Dan pertanyaan yang sama disetiap penutup surat-suratnya. Sekali lagi Ryan tersenyum, sekaligus merasa ngilu dihatinya.
Ryan menarik selembar kertas kosong dan pena. Ia mulai menulis. Membalas surat yang dikirim ibunya beberapa hari yang lalu. Ryan menulis tentang keadaannya di negeri orang ini, bagaimana kabar kuliah dan pekerjaan paruh waktunya, tentang tugas-tugas, dan kebahagiaannya atas kemajuan adiknya dan pernikahan bibi-nya. Lalu Ryan terdiam, ragu akan apa yang harus ditulisnya selanjutnya. Dan inilah, apa yang selalu ditulisnya sebagai penutup surat-surat yang dikirim untuk ibunya, “Aku belum bisa pulang dalam waktu dekat, Bu.”. Ryan terdiam.
Saat Ryan hendak melipat surat yang baru saja ditulisnya, lonceng kecil tanda pengunjung datang kembali berdentang pelan. Sesaat Ryan tidak peduli, tapi saat orang yang baru masuk itu berjalan melewatinya, sekejap Ryan menoleh. Ryan hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, lelaki yang baru saja masuk itu, memakai batik?
Lelaki itu memakai kacamata, tampak pintar dan tenang. Dan ia, berbatik! Itu yang paling penting. Ryan terus menatapnya, tidak peduli lelaki itu sadar atau tidak. Dan lelaki itu memilih untuk duduk tepat di belakang meja Ryan. Pertama Ryan beusaha tetap tenang, namun segera berbalik kearah lelaki itu untuk menyapanya.
“Are you Indonesian? (Apakah kamu orang Indonesia?)” tanyanya Ryan tanpa basa-basi. Laki-laki itu terdiam sebentar, lalu senyumnya merekah lebar sambil mengangguk berkali-kali.
“Orang Indonesia juga?” ia balik bertanya. Ryan mengangguk sambil tertawa. Keduanya tertawa. Sekejap kedai kopi yang tadinya sepi, mulai riuh dengan tawa mereka.
“Ayo gabunglah bersamaku, aku sendirian,” ajak Ryan sambil menepuk sisi lain mejanya. Lelaki itu tertawa pelan lalu bangkit dari duduknya, bergabung bersama Ryan dimejanya. Baru mereka mau akan berbicara lagi, datang pelayan yang menantarkan pesanan Ryan. Lelaki itu mengisyaratkan bahwa ia ingin secangkir kopi, pelayan tersebut tersenyum lalu berlalu.
“Omong-omong, namaku Ridho,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kanannya, menunggu sambutan tangan Ryan. Dan Ryan cepat-cepat menjabat tangan Ridho.
“Namaku Ryan,” keduanya lalu tertawa, lagi.
“Sudah lama tidak bertemu dengan orang Indonesia lagi. Aku sempat kaget,” ungkap Ridho di sela tawanya. Ryan mengangguk membenarkan.
“Aku juga. Tidak pernah aku bertemu orang Indonesia lain selain teman-teman sekuliahanku,” Ridho menaikkan alisnya, tertarik.
“Kau mahasiswa?” tanyanya sambil melonggarkan syal yang dipakainya.
“Begitulah,” jawab Ryan sambil tersenyum dan menambahkan gula dikopinya. “Kau juga mahasiswa?” Ryan balik bertanya. Ridho tersenyum.
“Ya, tapi jika bersungguh-sungguh, akhir tahun ini aku akan lulus,” jawabnya. Ryan mengangguk mengerti. Sesaat keduanya diam. Yang terdengar hanya suara sendok Ryan yang membentur dinding cangkir kopinya.
“Jadi, kau tidak pulang ke Indonesia? Kudengar bulan ini semua universitas meliburkan semua mahasiswanya,” Ridho kembali memancing pembicaraan. Ryan terdiam akan pertanyaan itu. Semua teman-temannya yang berasal dari Indonesia sudah pulang dari seminggu yang lalu. Tapi Ryan, ia tidak akan mau pulang.
“Kau sudah lupa alamat rumahmu, ya?” itulah guyon yang selalu dilontarkan teman-temannya saat Ryan menolak untuk ikut pulang bersama mereka. Dan Ryan hanya tersenyum sebagai balasan.
“Aku tidak pernah pulang ke Indonesia 2 tahun terakhir ini,” jawab Ryan saat ia sadar dari lamunannya. Seorang pelayan mendekati mereka, mengantarkan pesanan Ridho. Ridho mengucapkan terima kasih lalu pelayan itu berlalu.
“2 tahun? Kerasan sekali rupanya,” canda Ridho. Keduanya tertawa.
“Kenapa tidak pulang? Ini bulan yang baik untuk pulang. Lagipula cuaca akan semakin dingin.” Ridho masih penasaran.
“Aku suka musim gugur,” jawaban singkat dari Ryan. Ridho tertawa kecil sambil mengaduk kopinya. “Kau pun tampaknya tidak pulang.” Ucap Ryan lalu menyeruput kopinya.
“Ya, aku sedang dalam riset yang tidak bisa kutinggalkan. Lagipula awal tahun aku sudah pulang,” jawab Ridho. Ryan mengangguk.
“Dimana kampungmu, Ryan?” tanya Ridho sambil mengangkat cangkir kopinya, menyeruputnya pelan. Kopi yang panas segera menetralkan suhu tubuhnya yang kedinginan.
“Di Jakarta. Kampungmu dimana?” jawab Ryan sekaligus bertanya. Ridho meletakkan cangkirnya kembali sebelum menjawab.
“Di Medan. Kau anak Jakarta rupanya. Tidak rindu dengan Monas?” gurau Ridho.
“Aku lebih suka dengan Big Ben,” Ryan balas bergurau. Keduanya kembali tertawa.
“Jakarta sudah maju sekarang,” ucap Ridho. Ryan tersenyum sinis. Maju ya…, batin Ryan dalam hati. Mau tidak mau, Ryan melempar kembali ingatannya akan masa lalunya di Jakarta. Masa-masa kelam yang tiap kali ia kenang akan membuat ngilu hatinya. Dulu Ryan hidup susah. Ibunya bekerja sebagai tukang cuci baju, dan ayahnya tukang judi. Walau pun tukang judi, ayahnya tidak pernah marah-marah di rumah. Hanya tak bicara.
Dulu Ryan terpaksa ikut kerja kecil-kecilan agar meringankan ibunya untuk membayar uang sekolahnya yang mahal. Walau pun hidup miskin, Ryan tidak malu belajar di sekolah yang sama dengan banyak anak-anak orang kaya. Walaupun sebagian besar anak-anak itu mengejeknya, Ryan tetap tidak peduli.
Ryan ingat saat ayahnya meninggal, waktu itu umurnya baru 13 tahun. Ibunya terpaksa kerja keras. Ditambah lagi saat itu Ryan sudah mempunyai dua orang adik yang masih kecil-kecil. Hidupnya benar-benar susah. Ryan sedih tiap kali mengingat saat ibunya dilecehkan dan diejek karena bekerja sebagai tukang cuci.
Tapi akhirnya Ryan lulus sekolah menjadi anak yang berprestasi. Ia memang tidak pintar. Tapi keuletannya berbuah manis. Ia lulus beasiswa bersekolah di Inggris. Dan sinilah ia sekarang, duduk di kedai kopi yang terletak di seluk beluk kota London, termenung mengorek kembali pedihnya masa lalu.
Ryan memotong pancake-nya dengan garpu lalu berkata, “Aku tidak akan pulang. Ibuku dan adik-adikku akan aku bawa ke London. Aku akan bekerja di sini. Mengganti kewarnegaraanku dan keluargaku.” Ridho terdiam mendengarnya. Ryan dengan santainya mengangkat wajah sambil tersenyum, itu memang rencananya saat sudah lulus kuliah nanti. Ridho tertawa pelan.
“Kau punya masa lalu yang buruk rupanya,” ucap Ridho sambil mengaduk pelan kopinya. Ryan tersentak mendengarnya. “Bagaimana aku tahu? Aku sudah menetap di Inggris selama 4 tahun. Aku bertemu dengan banyak orang dari banyak Negara. Tapi jujur saja, hanya orang-orang Indonesia yang mempunyai rencana yang sama denganmu. Mereka membenci Negara mereka sendiri. Aku pun sebenarnya juga punya masa lalu yang buruk, tapi aku sudah berdamai dengan masa lalu. Aku harus mengembalikan apa yang sudah aku pinjam.” Sambung Ridho.
“Yang kau pinjam?” ulang Ryan bingung.
“Kau pun meminjam hal yang sama,” ucap Ridho sambil tersenyum.
“Aku tidak mengerti,” jawab Ryan. Ridho menyandarkan punggungnya disandaran kursi sambil terus tersenyum.
“Wajar kau tak mengerti,” ucapnya. “Apa yang kita pinjam, adalah sayap Garuda. Kita sudah sampai di sini. Saat ini, memang kita di sini. Tapi suka dan duka kita alami di Indonesia. Kita ada di sini karena dasar yang kita dapat di sana. Ini hanya batu lompatan. Indonesia tetap rumah kita, dan kita harus mengembalikan sayap yang sudah kita pinjam. Kita bangun negeri kita, dan kita bantu anak-anak penerus kita agar bisa meminjam apa yang sudah kita pinjam.” Jelas Ridho. Ryan terdiam. Diam yang panjang.
Tiba-tiba dering telefon berbunyi nyaring. Menyentak Ryan dan seluruh pikirannya. Ridho merogoh kantung celananya, dan terkejut.
“Oh, aku terlambat untuk rapat riset-ku. Aku harus pergi sekarang,” ucapnya lalu segera meneguk habis kopinya yang sudah mendingin. Ia lalu bangkit dari duduknya, Ryan ikut bangkit.
“Kau akan menangis melihat senyum rindu Ibu Pertiwi diwajah ibu-mu,” bisik Ridho. Tiba-tiba hati Ryan meleleh, mengingat senyum ibunya yang begitu teduh dan penuh sayang. Ridho menyodori Ryan selembar kartu nama.
“Hubungi aku kapan saja. Senang bertemu denganmu, Ryan.” Lalu keduanya berjabat tangan. Sosok Ridho lalu berjalan keluar kedai setelah membayar tagihannya. Tinggal Ryan sendiri dengan sepiring pancake dan setengah cangkir kopinya. Ryan merogoh kantung celananya, mengeluarkan telefon genggamnya, menekan nomor telfon maskapai penerbangan.
“Hello, is there any ticket to Indonesia tonight? (Hallo, apakah ada tiket untuk ke Indonesia malam ini?)”
Cerpen Karangan: Nadira Mufti
Blogger Template by Clairvo