Ø Museum Balaputra Dewa
Museum Balaputradewa terletak di Jl. Srijaya Negara I No. 288, Palembang. Walaupun museum ini tidak terletak di jalan besar (kira-kira 400 meter dari jalan protokol), namun petunjuk jalan menuju museum ini cukup jelas. Museum ini menempati bangunan dengan arsitektur tradisional Palembang, dan berada dalam kompleks seluas 23565 meter persegi. Museum ini didirikan pada tahun 1978 dan berada di bawah pengelolaan Departemen Pendidikan Nasional. Nama Balaputradewa diambil dari nama raja paling terkenal di kerajaan Sriwijaya.
Koleksi Museum Balaputradewa terdiri dari prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya, benda-benda peninggalan kerajaan Palembang, sejarah perang kemerdekaan di Sumatera Selatan, dan barang-barang kebudayaan Sumatera Selatan. Dari koleksi yang ditampilkan di museum ini, kita bisa melihat bahwa Dari koleksi museum, kita bisa melihat bahwa kerajaan Sriwijaya pernah menjadi pusat agama Budha yang terkemuka di dunia pada masanya.
Begitu banyak arca batu yang menggambarkan Buddha yang ditemukan di sekitar provinsi Sumatera Selatan, yang kemudian menjadi bagian dari koleksi museum. Di bagian belakang museum terdapat replika rumah limas, namun kami tidak bisa masuk ke dalamnya. Di bagian samping museum terdapat koleksi patung-patung yang ditemukan di berbagai situs yang diduga merupakan situs kerajaan Sriwijaya. Salah satu patung yang menarik perhatian adalah patung orang naik gajah, yang merupakan peninggalan era megalitikum di Palembang. Masyarakat menganggap patung ini merupakan bagian dari legenda si Pahit Lidah, di mana siapa pun yang dikutuk olehnya akan berubah menjadi batu. Begitu banyak arca batu yang menggambarkan Buddha yang ditemukan di sekitar provinsi Sumatera Selatan, yang kemudian menjadi bagian dari koleksi museum. Di bagian belakang museum terdapat replika rumah limas, namun kami tidak bisa masuk ke dalamnya. Di bagian samping museum terdapat koleksi patung-patung yang ditemukan di berbagai situs yang diduga merupakan situs kerajaan Sriwijaya. Salah satu patung yang menarik perhatian adalah patung orang naik gajah, yang merupakan peninggalan era megalitikum di Palembang. Masyarakat menganggap patung ini merupakan bagian dari legenda si Pahit Lidah, di mana siapa pun yang dikutuk olehnya akan berubah menjadi batu.
Walaupun merupakan Museum Provinsi, namun Museum Balaputradewa jarang mendapat kunjungan dari umum, barangkali karena letaknya yang tidak di tepi jalan protokol. Bahkan ketika kami menginjakkan kaki di museum ini, hanya kami tamu yang berkunjung ke sana. Akan tetapi koleksi museum ini merupakan warisan berharga yang dapat memberikan gambaran kepada kita mengenai sejarah wilayah Sumatera Selatan, terutama tentang kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Palembang.
Ø Pulau Kemaro
Pagoda berlantai 9, bangunan yang menjulang di tengah-tengah pulau, merupakan daya tarik utama bagi para pengunjung pulau Kemaro di sungai Musi, Palembang. Ada apa gerangan di pulau itu? bagaimana cara kamu bisa menuju ke sana?
Klenteng yang dibangun sejak 1962 itu awalnya hanya berupa bangunan klenteng Klenteng Soei Goeat Kiong (atau yang lebih dikenal dengan Klenteng Kuan Im). Bangunan Pagoda berlantai 9 itu baru mulai dibangun tahun 2006. Di depan klenteng terdapat pula makam Tan Bun An dan Siti Fatimah yang berdampingan. Kisah cinta mereka berdualah yang menjadi legenda terbentuknya pulau ini.
Kemaro adalah pulau yang menurut arti namanya adalah Kemarau, karena konon pulau ini tidak pernah terendam saat sungai musi meluap naik dan merendam perumahan di sisi sungai. Kemaro Berjarak 5 km arah hilir dari jembatan Ampera (benteng Kuto Besak).
Kamu bisa menuju pulau kemaro menggunakan perahu (baik perahu cepat maupun perahu klotok) dengan ongkos Rp 100.000 untuk satu perahu pulang pergi (semakin banyak orang yang menaiki perahu tentu ongkos setiap orang nya jadi lebih murah). Lama perjalanan jika menggunakan perahu klotok adalah 30 menit. Bagi kamu yang ingin menikmati perjalanan melintasi sungai musi, dianjurkan menggunakan perahu ini.
Kegiatan yang paling ramai disana adalah perayaan Cap Go Meh, yaitu perayaan pada 15 hari (saat terang bulang) setelah tahun baru Imlek.Saat Cap Go Meh, pulau ini banyak dikunjungi oleh mereka yang ingin merayakannya dari berbagai penjuru tanah air, bahkan dibuat jalur khusus, berupa jembatan ponton (terapung) yang sengaja dibangun untuk mereka agar bisa menyebrang dari tepian dekat pabrik Intirub.
Pulau Kemarau, yang Akan Selalu Kemarau Meski di Tengah Sungai
Pulau di tengah laut sepertinya sudah biasa. Tak disangka ternyata di tengah-tengah Sungai Musi di Palembang terdapat suatu pulau yang dinamakan Pulau Kemaro oleh penduduk setempat. Kemaro sendiri berasal dari bahasa Palembang, yang berati kemarau. Dinamakan demikian karena pulau ini tidak pernah digenangi air meskipun air sungai Musi meningkat, pulau ini akan tetap kering alias kemarau.
Perjalanan menuju Pulau Kemarau di tempuh menggunakan ketek atau perahu kecil. Kita dapat menyewa ketek di depan Benteng Kuto Besak (BKB), perjalanan yang ditempuh sekitar 25 menit dengan tarif sekitar Rp. 100.000,- per kapal. Tarif tersebut untuk perjalan pulang-pergi (PP). Pemilik ketek akan menunggu kurang lebih selama 3 jam atau tergantung kesepakatan. Angin sepoi-sepoi yang menerpa tubuh ditambah dengan goyangan kapal kekanan dan kekiri karena deburan gelombang air dari perahu besar yang lewat di dekat ketek menambah sensasi tersendiri dalam perjalanan ini.
Jika tidak suka berlama-lama di perjalanan, kita dapat menggunakan perahu boat, dengan tarif sekitar Rp. 150.000,- per kapal, waktu yang ditempuh hanya sekitar 15 menit tentu saja lebih cepat dibandingkan menggunakan ketek tapi sayangnya kita kurang bisa menikmati serunya di perjalanan.
Di atas Pulau Kemarau terdapat sebuah pagoda besar, klenteng, pohon cinta, patung-patung dan gundukan-gundukan tanah yang katanya adalah makam dari Siti Fatimah, Tan Bun An, dan pengawalnya.
Ada sebuah legenda yang diyakini masyarakat sebagai sejarah dari terbentuknya pulau ini. Di atas pulau kemarau ada sebuah batu prasasti yang menceritakan seperti ini “Ada legenda seorang putri raja bernama Siti Fatimah yang disunting oleh seorang saudagar Tionghoa yang bernama Tan Bun An pada zaman kerajaan Palembang, Siti Fatimah diajak kedaratan Tionghoa untuk melihat orang tua Tan Bun An setelah di sana beberapa watu Tan Bun An beserta istri pamit pulang ke Palembang dan dihadiahi 7 (tujuh) buah guci. Sesampainya di perairan Musi dekat Pulau Kemaro, Tan Bun An mau melihat hadiah yang diberikan, begitu dibuka Tan Bun An kaget sekali isinya sawi-sawi asin. Tanpa banyak berpikir langsung dibuangnya ke sungai, tapi guci terakhir terjatuh dan pecah di atas dek perahu layar, ternyata ada hadiah yang tersimpan di dalamnya, Tan Bun An tidak banyak berpikir ia langsung melompat ke sungai untuk mencari guci-guci tadi, sesorang pengawal juga terjun untuk membantu, melihat 2 (dua) orang tersebut tidak muncul Siti Fatimah pun ikut lompat untuk menolong, ternyata tiga-tiganya tidak muncul lagi, penduduk sekitar pulau sering mendatangi Pulau Kemarao untuk mengenang 3 (tiga) orang tersebut dan tempat tersebut dianggap sebagai tempat yang sangat keramat sekali”
Selain legenda mengenai pulau kemarau tersebut, di pulau ini juga terdapat mitos tentang pohon cinta. Konon katanya apabila seseorang menuliskan namanya dan pasangannya di pohon cinta tersebut maka jalinan cinta mereka akan semakin langgeng dan mesrah dan bagi yang belum memiliki pasangan bila menuliskan namanya dan nama orang yang disukainya maka suatu saat nanti mereka akan menjadi sepasang kekasih baru
Pulau Kemaro merupakan tempat yang spesial untuk etnis Thionghoa. Pulau ini akan ramai di datangi oleh para pengunjung etnis cina baik dari dalam maupun luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Cina dan beberapa negara lainnya terutama pada saat Cap Go Me. Selain melawati jalur sungai pada hari itu akan disediakan jembatan dari tongkang untuk memudahkan akses kesana. Pada saat Cap Go Me juga ada pertunjukkan seperti barongsai, liong, wayang orang, tanjidor dan band.Perayaan Cap Go Me bisa menjadi moment yang pas jika ingin berkunjung ke sini.
Ø BUKIT SIGUNTANG
Lokasi : Kelurahan Bukit Lama Kecamatan Ilir barat II, Kota Palembang.
Sejarah :
Bukit Siguntang adalah tempat bersejarah yang dikeramatkan, di dalm kompleks makam ini terdapat beberapa makam keramat, di antaranya:
- Raja Si Gentar Alam
- Putri Kembang Dadar
- Putri rambut Selako
- Panglima Bagus Kuning
- Panglima Bagus Karang
- Panglima Tuang Junjungan
- Panglima Raja Batu Api
Pada Tahun 1920, di sekitar bukit pernah ada sebuah patung Budha berciri Seni Amriwati dengan raut wajah Srilanka yang diduga berasal dari abad XI Masehi Patung tersebut sekarang berada di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Tempat ziarah peninggalan Kedatuan Sriwijaya yang terletak di ketinggian 27meter dari permukaan laut (tertinggi di Palembang). Karena udara yang sejuk dan posisi yang memungkinkan view bebas ke arah Kota Palembang bahkan Pulau Bangka, menjadikan tempat ini tidak hanya sebagai tempat ziarah, namun juga menjadi tempat rekreasi.
Kawasan Bukit Siguntang yang berada di Bukit Besar Palembang sejak lama menyimpan cerita misteri. Meski demikian, hal itu tidak mengurungkan niat banyak orang untuk mengunjungi kawasan elok ini.
Kawasan ini dengan ketinggian sekitar 27 meter di atas permukaan laut tepatnya di Kelurahan Bukit Lama. Jika berada di atas bukit, kita bisa memandang sebagian Kota Palembang.
Berdasarkan cerita legenda dan dongeng, setiap tokoh yang dimakamkan itu memiliki karisma dan sejarah masing-masing. Kini, masing-masing makam yang berada di kaki bukit dan mengarah ke puncak bukit masih terawat baik. Dari hasil penemuan pada tahun 1920 di sekitar bukit ini telah ditemukan sebuah patung (arca) Buddha bergaya seni Amarawati yang raut wajah Srilangka berasal dari abad XI masehi yang sekarang diletakkan di halaman Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Tempat ini sampai sekarang masih tetap dikeramatkan karena di sini terdapat beberapa makam Raja Sriwijaya. Di antaranya Radja Si Gentar Alam, Putri Kembang Dadar, Panglima Bagus Kuning, Panglima Bagus Karang, Putri Rambut Selako, Pangeran Radja Batu Api, Panglima Tuan Djundjungan. Para tokoh itu berasal dari masa akhir Kerajaan Sriwijaya dari Mataram Hindu dan keturunanMajapahit.
Nyai Atun (75), salah seorang juru kunci yang berasal dari Pacitan, Jawa Timur, sudah puluhan tahun kerja di sana. Saat ditemui Suara SJI, Atun menyayangkan tak ada petunjuk khusus yang bisa didapatkan soal sejarah dan bagaimana keberadaan makam-makam itu. ”Di depan makam hanya tertulis nama tokoh dengan tujuh makam Raja Sriwijaya, tanpa keterangan sedikit pun,” ungkapnya.
Menurut Atun, Kerajaan Sriwijaya merupakan keturunan dari Majapahit yang pusat kerajaannya berada di Kota Palembang. Hal ini dikuatkan dengan foto udara yang menggambarkan adanya kanal-kanal yang menunjukkan tempat pertahanan atau benteng dari kerajaan.
Sebaliknya, Kepala Bidang Objek Pariwisata Kota Palembang Ahmad Zazuli mengatakan, di Bukit Siguntang terdapat delapan makam. Yang terakhir adalah Panglima Jago Lawang. “Memang tak begitu jelas tentang keberadaan makam itu. Yang pasti, makam itu berada di dataran tinggi untuk menghindaribanjir,”ujarnya.
Bukit Siguntang pernah menjadi pusat Kerajaan Palembang yang dipimpin Parameswara, adipati di bawah Kerajaan Majapahit. Sekitar tahun 1511, Parameswara memisahkan diri dari Majapahit dan merantau ke Malaka. Di sana ia sempat bentrok dengan pasukan Portugis yang hendak menjajah Nusantara. Adipati itu menikah dengan putri penguasa Malaka, menjadi raja, dan menurunkan raja-raja Melayu yang berkuasa di Malaysia, Singapura, dan Sumatera.
Radja S igentar Alam merupakan raja tertua di antara tujuh raja Sriwijaya. Kisah perjalanan Raja Macedonia ini, menurut versi cerita rakyat Melayu, adalah cerita tentang Radja Sigentar Alam. Nama aslinya Iskandar Zulkarnain Sahalam, dengan nama serumpun Malaysia Johor. Kakaknya bernama Permai Swana dengan nama asli Datuk Iskandar Sahalam yang berada di Malaysia Johor.
Radja Sigentar Alam berasal dari Kerajaan Mataram Kuno Majapahit, yang menganut agama Hindu-Buddha. Datang ke Lembang Melayu membawa kapal mengarungi samudera hingga tiba di Lancang Kuning. “Ketika datang ke sini jangkarnya terkait di tanah segumpal, karena masa dulu semua dunia merupakan samudra laut yang luas. Kapal tersebut terdampar, kemudian menghilang,” tutur Atun sembari merangkai kembang tujuh warna itu.
Lain halnya dengan Putri Kembang Dadar, seorang putri dari kahyangan dengan nama asli Putri Bunga Malur, anak Bunda Kahyangan. Percaya atau tidak, kalau Putri Kembang Dadar ini berada di atas kahyangan, maka langit menjadi mendung, gelap dan berpelangi. ”Sebaliknya, apabila ia turun dari atas kahyangan, maka petir dan hujan pun akan turun,” ungkapnya.
Sekitar tahun 1554, muncul Kerajaan Palembang yang dirintis Ki Gede Ing Suro, seorang pelarian Kerajaan Pajang, Jawa Tengah. Kerajaan ini juga mengeramatkan Bukit Siguntang dengan mengubur jenazah Panglima Bagus Sekuning dan Panglima Bagus Karang. Keduanya sama-sama berasal dari Mataram Kuno Majapahit. Kedua tokoh itu berjasa memimpin pasukan kerajaan saat menundukkan pasukan Kesultanan Banten yang menyerang Palembang.
Berbeda lagi dengan Putri Rambut Selako. Nama aslinya Putri Kencana Bungo, berasal dari Keraton Yogya, anak dari Prabu Wijaya. Pangeran Radja Batu Api berasal dari Jeddah, sedangkan Panglima Tuan Djundjungan berasal dari Arab yang menyebarkan agama Islam.